Sp3-TeL

Sp3-TeL
Aksi Mayday 2013 di Muara Enim

Kamis, 08 Desember 2011

Berpihak Kepada Pengusaha? Ah Tak Ada Itu!



 
Oleh: Adelina Savitri Lubis. 
 
PASAL 169 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja atau buruh bisa mengajukan permintaan resmi kepada pemerintah untuk mendapatkan penetapan terhadap berbagai perselisihan industri mengenai pemutusan hubungan kerja dengan pengusaha ketika pengusaha tidak membayar upah pada waktu yang disepakati bersama selama tiga bulan atau lebih. Kalau pemutusan hubungan kerja terjadi karena alasan diatas, pekerja atau buruh yang bersangkutan berhak mendapatkan pesangon sebesar dua kali jumlah pesangon normal, uang pernghargaan sebesar satu kali jumlah uang penghargaan masa kerja dan kompensasi yang berhak diterima dan belum digunakan. Bagaimana kalau alasannya bukan itu?
"Wah kalau begitu, kami harus objektif memandang perselisihan keduanya. Supaya adil dan tidak ada yang dirugikan," ungkap PLT Kepala Dinas Tenaga Kerja Tran Sumatera Utara (Kadisnaker Tran Sumut), BOTB Sihombing, didamping Kabid Hubungan Industrial, Ir. Mukmin dan Kabid Perlindungan Ketenagakerjaan, Frans Bangun SH M.hum, usai aksi Jumat Bersih di Gedung Pemprovsu, beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Analisa: Seperti apa tolak ukur yang dilakukan Disnakertran dalam mengatasi perselisihan antara pengusaha dan buruh?

BOTB Sihombing: Prinsip yang pertama, kami bekerja berdasarkan azas peraturan yang berlaku. Prinsip kedua adalah berupaya menerapkan win-win solutions, artinya pengusaha pun buruh tidak ada yang dirugikan. Kalau ada yang mengatakan kami berpihak pada pengusaha, ah tak ada itu. Semuanya sudah diatur kok. Sudah ada pedomannya, sudah ada ketentuannya.

Analisa: Tapi pak, anehnya kok buruh masih protes saja ya, padahal prinsipnya kan win-win solution, tak ada yang dirugikan. Praktiknya, demo buruh masih terjadi juga. Apa komentar bapak terkait itu?

BOTB Sihombing: Itu biasa terjadi di alam demokrasi ini. Namanya keinginan selalu ada, tapi harap dicatat tolak ukur standarisasinya kan sudah ada. Kita mengacu pada tolak ukur peraturan yang berlaku. Saya pikir kalau ada yang merasa tidak puas, itu wajar-wajar saja.

Analisa: Atau mungkin kita kurang memberikan edukasi kepada para buruh pak, sehingga mereka tidak tahu dan tidak mengerti apa saja hak dan kewajiban mereka? Menurut bapak bagaimana?

BOTB Sihombing: Itulah salah satu upaya yang sedang kami lakukan, memberikan sosialisasi mengenai peraturan dan perundang-undangan pekerja, agar pengusaha dan buruh mengetahui hak dan kewajibanya masing-masing. Memang upaya yang dilakukan selama ini belum mencukupi kebutuhan, namun kami mencoba untuk mengimbangi kebutuhan tersebut. Sebetulnya yang namanya masalah itu selalu ada, terkait hal ini pun pasti ada saja pihak-pihak yang tidak puas. Jadi ya wajar saja.

Analisa: Menarik juga sebetulnya, kalau memang program sosialisasi itu dilaksanakan. Semacam apa praktiknya sosialisasi itu pak. Apakah mendatangi tiap-tiap perusahaan dan menghalo-halokan undang-undang dan peraturan itu?

BOTB Sihombing: Sosialisasi yang kita lakukan itu antara lain, mengundang serikat pekerja, pengusaha bersama karyawan atau buruh dalam sebuah pertemuan. Ada juga sosialisasi dalam bentuk ceramah-ceramah yang mendatangkan orang pusat langsung, termasuk juga menghadirkan seorang pakar yang menguasai hokum-hukum perburuhan.

Program sosialisasi ini hampir tiap tahun kami selenggarakan. Dengan begitu, para peserta; pengusaha dan karyawan atau buruh dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka. Materi yang diusung bukan sebatas hak dan kewajiban, begitupun soal perselisihan. Langkah-langkah yang mereka (pengusaha dan karyawan) tempuh apabila terjadi perselisihan diantara keduanya.

Sejatinya hal-hal yang menyangkut manusia itu selalu berkembang. Ketidakpuasan dalam bentuk protes maupun demonstrasi adalah hal yang wajar. Terkait ini, kami siap untuk memperantarai keduanya, menjadi mediasi hingga tercapai suatu keadaan yang tidak merugikan bagi keduanya (pengusaha dan buruh). Selain itu kita juga harus pikirkan sisi investor kan?

Analisa: Maksudnya pak?

BOTB Sihombing: Artinya kita bukan membela atau memihak pengusaha, tapi faktanya mengundang investor ke Sumut ini bukanlah hal yang mudah. Kami disini merasa berkewajiban untuk memelihara kekondusifan hal tersebut. Intinya keduanya sama-sama kita perhatikan dan pedulikan. Bukan berarti, keputusan yang kami ambil itu berpihak kepada pengusaha.

Analisa: Pak, sebetulnya apa saja yang perlu kita ketahui oleh hak dan kewajiban buruh, apabila kita berkaca melalui undang-undang dan peraturan yang ditetapkan?

BOTB Sihombing: Pertama, seorang buruh harus mengetahui berapa upahnya? Kemudian jaminan-jaminan apa saja yang bisa dia peroleh, antara lain Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Seorang buruh wajib mengetahu dan memahami hak-hak yang diperoleh dari perusahaan tempatnya bekerja. Begitupun jangan pula dia menuntut haknya, tapi melupakan kewajibannya. Misalkan kewajiban masuk kerja sesuai dengan jam yang telah ditetapkan. Jangan hanya istirahat saja, lantas melanggar aturan kedisiplanan. Kalau dilarang merokok di dalam pabrik harus diikuti.

Praktiknya, selalu saja ada buruh yang nakal, padahal tanpa disadari ada pihak-pihak yang memperhatikan. Setelah diberi peringatan sekali dua kali, namun tetap membandel juga akhirnya buruh pun dimutasikan.

Hal-hal semacam inilah yang biasanya awal mula persoalanan antara pengusaha dengan buruhnya. Pengusaha merasa buruh tersebut tidak cocok ditempatkan di bagian itu, lantas memutasikannya ke bagian lain. Katakanlah ke bagian sekuriti. Rupanya sang buruh merasa tidak cocok, mulailah dia mengeluh dan berujung pada sikap protes.

Analisa: Kalau di Sumut sendiri bagaimana kondisinya pak? Apakah semua perusahaan di Sumut sudah bisa dikatakan 100 persen mapan dalam membutuhi hak-hak pekerjanya?

BOTB Sihombing: Tercatat di Sumut ini ada sebanyak 10. 000 perusahaan, sayangnya hanya ada 80 pengawas yang bertugas untuk mengawasi perusahaan-perusahaan tersebut.

Analisa: Waduh pak, bukankah itu jumlah yang sangat timpang? Bagaimana mungkin 80 orang mampu mengawasi 10. 000 perusahaan?

BOTB Sihombing: Praktiknya secara rutin kita tetap melakukan pengawasan. Kita bukannya menyerah, meskipun hanya memiliki 80 pengawas kami tetap melakukannya. Strategi yang dilakukan adalah lebih memfokuskan pada perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran.

Analisa: Untuk Sumut, di kota mana saja yang perusahaannya terbanyak pak?

BOTB Sihombing: Dari 10. 000 perusahaan, setidaknya 90 persennya tersebar di Medan, Deli Serdang, Binjai, Langkat dan Simalungun. Sedangkan 10 persennya tersebar di kota lainnya.

Analisa: Kembali soal mediasi tadi pak, semacam apa langkah yang ditempuh buruh untuk mendapatkan mediasi dari dinas tenaga kerja?

BOTB Sihombing: Pertama, buruh menyampaikan pengaduan tertulis yang tertuju kepada dinas tenaga kerja. Setelah surat pengaduan sampai, kami akan mengirimkan petugas untuk memeriksa perusahaan tersebut. Bisa dengan mendatangi perusahaan, bisa juga memberikan surat panggilan ke dinas tenaga kerja. Kalau perusahaan yang dimaksud tidak datang juga, ada proses langkah selanjutnya.

Analisa: Terlepas dari ini pak, saya teringat outsourching, apakah menurut bapak itu masih pantas diberlakukan?

BOTB Sihombing: Begini, outsourching itu kan cara. Sampai sekarang, inilah cara yang terbaik untuk dilakukan. Mengingat kondisi ekonomi kita yang belum stabil. Saya lihat masyarakat sudah menyesuaikan diri. Apa pun ceritanya, regulasi harus disesuaikan dengan masyarakat. Sebagai catatan, outsourching diakui oleh dunia. Lagian, bukankah kita sudah sepakat untuk mengikuti perkembangan era globalisasi. Outsourching adalah salah satu tanda era globalisasi, lantas mengapa kita tidak mengikutinya? Di Eropa sendiri, tentara pun sudah outsourching. Sebetulnya yang harus kita pahami adalah pengertian outsourching itu sendiri.

Outsourching adalah keterampilan, dan orang-orang yang terampil tidak akan mau menjadi karyawan tetap. Alasannya adalah karena mereka digaji sesuai dengan keterampilan mereka. Apa yang terjadi di Indonesia terkait outsourching adalah ketidaksiapan mental pekerja kita terhadap prinsip outsourching. Sayangnya, disini menjadi karyawan tetap merupakan dambaan bagi para pekerja, apalagi pegawai negeri sipil (pns).
 
Sumber : HARIAN ANALISA 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar