Sarana Publikasi dan Informasi Pekerja Khususnya Anggota SP3-TEL
Jumat, 09 Desember 2011
Merdeka dalam Jajahan Neoliberalisme
Kita menghadapi ancaman dan tantangan penjajahan baru oleh neoliberalisme global yang kini sangat nyata keberadaannya dan menguasai perekonomian bangsa dan negara Indonesia. Neoliberalisme pada kenyataannya, bukan lagi sesuatu yang mudah untuk bisa dihindari dan diantisipasi.
Akan tetapi kini semakin dekat dan bahkan telah menyatu dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Menyatu dalam pengertian ideologi dan kepentingannya telah memengaruhi, terlibat dalam pengambilan keputusan strategis berbangsa dan bernegara, dan telah membentuk suatu lingkaran setan yang mempersuram sisi kehidupan bangsa dan negara ini.
Sesuai dengan ideologinya, neoliberalisme sangat memuja pasar (istilah lain: fundamentalisme pasar). Para pemeluk neoliberalisme sangat percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi, dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tetapi juga seluruh aspek kehidupan.
Diyakini, dengan pasar bebas umat manusia akan memasuki pintu gerbang keemasan yang membebaskan dan membahagiakan. Oleh sebab itu, maka para pemeluk 'agama dunia' bernama neoliberalisme itu mengkritik dan menolak campur tangan negara dalam aktivitasnya menjalankan program-program kesejahteraan rakyat, karena dianggap hal itu akan menimbulkan defisit negara yang luar biasa. Negara dilarang turut campur tangan mengurusi persoalan rakyatnya.
Biarlah rakyat sendiri yang mengurus urusannya, sesuai dengan berlakunya hukum pasar. Kecuali itu, peran negara hanya untuk melayani dan memberi kemudahan untuk kepentingan berkembangnya neoliberalisme global.
Keyakinan dan ideologi neoliberalisme adalah jelas sekali sangat bertentangan dengan tujuan dibentuknya negara Indonesia sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang menyatakan bahwa "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, ....."
Jadi, dalam konteks keyakinan dan ideologinya saja, neoliberalisme sebagaimana dijelaskan di atas telah sangat menyesatkan dan mengerikan, apalagi dalam implementasi program dan aksi-aksi yang dijalankannya, kita bisa saksikan akibatnya yang lebih mengerikan lagi. Sebut saja misalnya dalam bidang pertanian, yang menyangkut nasib hidup matinya para petani kita sebagai bangsa agraris.
Kenyataan yang terjadi di sektor itu adalah hilangnya kemerdekaan (kemandirian) pertanian kita, dan masuk ke dalam perangkap ketergantungan sistem pertanian neoliberal, termasuk di dalamnya para petani dan buruh tani, yang berada dalam lingkaran kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional (transnational corporations/TNCs) atau multinasional (multinational corporations/ MNCs) dengan perangkat pengawasnya yaitu World Trade Organization (WTO).
Secara lebih tegas lagi, di balik kepentingan neoliberalisme itu sebenarnya terdapat kepentingan TNCs/ MNCs dari negara Amerika Serikat (AS) yang didukung dan dilindungi secara politik oleh Pemerintah AS. Kepentingan TNCs / MNCs AS ini sangat jelas, misalnya dalam penguasaan TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) di seluruh dunia.Data pada 1997 memperlihatkan bahwa industri berbasis TRIPs atau Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam bidang perdagangan mengumpulkan hasil ekspor terbesar bagi perusahaan AS, yaitu sebesar US$66,85 miliar. Angka itu disusul oleh industri kimia US$66,40 miliar, dan kendaraan bermotor US$58,34 miliar. Data UNDP juga menunjukkan bahwa pada 1995 saja angka pembayaran royalti dunia lebih dari setengahnya mengalir ke AS. (Arimbi:2002).
Sebaliknya bagi Indonesia, dengan permainan tidak adilnya TNCs /MNCs negara-negara maju seperti AS dan Jepang, menyebabkan kehilangan kepemilikan terhadap sejumlah hak paten produk andalan rakyat seperti tempe, rempah-rempah, bibit tanaman padi, dan sebagainya.
Dengan kenyataan pahit di atas, yang menggambarkan betapa ironis dan paradoksnya kita sebagai bangsa dan negara merdeka yang telah diproklamasikan sejak 63 tahun yang lalu, ternyata di balik kemerdekaan itu, hanya berupa kemerdekaan dari penjajahan secara fisik dari negara penjajah saja yang baru terjadi.
Padahal penjajahan dalam bentuk yang sangat hakiki dan kompleks, bermakna ketertindasan dan ketergantungan yang luar biasa, menyebabkan ketakberdayaan kita sebagai bangsa dan negara terhadap penjajahan nonfisik yang dilancarkan oleh para penjajah neoliberalisme global, hingga saat ini, bahkan akan terus berlangsung ke depan, tak membuat kita bisa lepas dari penjajahan dalam bentuk baru itu. Artinya bangsa dan negara ini tetap dalam kondisi sangat terjajah.
Mereka berhasil dan terus mempertahankan jajahannya karena kesalahan para pemimpin bangsa dan negara ini yang tidak konsisten dan khianat terhadap amanat kemerdekaan yang dicita-citakan oleh para pendiri dan pejuang kemerdekaan.
Para pemimpin pemerintahan kita yang lalu lebih memikirkan kepentingan sesaat untuk dirinya, keluarga dan kroninya, daripada menjadi pemimpin bangsa yang negarawan yang memikirkan dan memperjuangkan nasib bangsanya.Mereka telah menggadaikan dan bahkan menjual harga diri dan kekayaan bangsa dan negara ini untuk kepentingan neoliberalisme global secara tidak bertanggungjawab.
Bencana yang paling serius dan sangat tidak kita harapkan tentunya adalah kehancuran kita sebagai bangsa dan negara ini, alias Indonesia yang ada sekarang ini akan bubar jalan, dan akan dicaplok di sana sini oleh negara penjajah baru dalam jaringan neoliberalisme global itu.
Jika ini yang terjadi, berceritalah anak cucu atau cicit kita nanti, bahwa katanya "dulu, kata ibu bapak atau nenek kakek saya, pernah ada negara yang namanya Indonesia Raya.
Negaranya kaya raya dengan sumber daya alam yang melimpah, tapi karena salah urus, dikorupsi dan digadaikan oleh para pemimpinnya, akhirnya negara itu pun hancur berantakan. Inilah yang wajib dan sangat relevan kita renungkan di saat 63 tahun kita merdeka sekarang ini.
Sumber : www.bisnis.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar