RMOL.Alotnya renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia menjadi PR (pekerjaan rumah) tersendiri bagi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru, Jero Wacik. Pasalnya, ada dua masalah penting yang menyebabkan renegosiasi kontrak ini tak kunjung disepakati. Apa itu?
Menurut anggota Komisi VII DPR Setya W. Yudha, kedua masalah itu adalah persoalan divestasi dan royalti bagi negara. Royalti Freeport yang diterima negara hanya satu persen, sedangkan yang lainnya sebesar 3,75 persen.
“Ini menjadi PR pemerintah untuk bersama-sama dengan Freeport duduk bersama, karena proses renegosiasi merupakan proses yang harus disepakati kedua belah pihak. Jadi, Menteri ESDM yang baru ini jangan terlalu banyak bernostalgia dengan teman-temannya,” sindir Setya saat dihubungi Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Setya melanjutkan, duduk bersama diperlukan agar Freeport bisa lebih nyaman dan lama berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah pun bisa mendapatka royalti yang lebih besar dan bisa dirasakan masyarakat setempat.
Jika Freeport tetap berpegang pada kontrak yang lama, sambungnya, maka akan lebih menguntungkan Freeport. Namun hal itu akan memunculkan ketidakadilan masyarakat yang buntutnya menimbulkan rasa tidak nyaman bagi Freeport untuk berinvestasi di Indonesia.
“Kita minta Freeport duduk bareng dengan pemerintah untuk meninjau kembali perjanjian kontrak itu. Freeport bisa saja menolak, tetapi pemerintah juga mempunyai hak untuk tidak memperpanjang untuk kesekian kalinya, atau tidak memberikan izin terhadap rencana-rencana eksplorasi Freeport yang di luar darerah konversi,” jelasnya.
Menurut Setya, Freeport memang berencana mengembangkan eksplorasi di bawah tanah (underground maining). Jika memang terjadi di luar konversi, maka Freeport harus meminta izin lagi kepada pemerintah. Makanya, saat ini yang tepat bagi pemerintah untuk mengatakan, jika tidak mau duduk bersama dan mendengarkan pemerintah, maka rencana tersebut dapat digagalkan. “Harusnya Freeport sadar akan hal itu,”cetusnya.
Sementara Kementerian ESDM terus mendorong perusahaan-perusahaan tambang untuk transparan dalam melaporkan produksi dan penjualan hasil tambangnya.
Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo menuturkan, renegosiasi kontrak karya pertambangan harus berdasarkan peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku di Sektor Kementerian ESDM.
“Kalau peraturannya sudah seperti itu, kita punya alasan untuk renegosiasi,” ujarnya.
Widjajono menjelaskan, alotnya negosiasi antara pemerintah dan perusahaan tambang karena manajemen dipegang perusahaan tambang tersebut, sehingga tidak transparan. Biasanya, perusahaan tersebut jika tidak mau membayar pajak besar, akan mengecilkan angka produksi dan membesarkan biaya produksi di laporan keuangannya.
Jika perusahaan tambang tersebut masih tidak mau melakukan renegosiasi, Widjajono menyarankan, pemerintah meminta perusahaan tambang tersebut untuk buka-bukaan agar jelas berapa pendapatannya dan berapa yang disetor ke pemerintah.
“Kita buka-bukaan saja, transparan. Kalau keuntungan perusahaan terlalu banyak, kami tidak setuju. Selama minimum return perusahaan dipenuhi, harusnya mau dong (renegosiasi),” kata Guru Besar ITB itu.
Meski demikian, menurut Setya, di dalam kontrak karya Freeport berlaku lex specialis yang diatur dalam kontrak tersebut. Namun, pemerintah juga mempunyai UU Minerba yang dinilai Setya bisa bertentangan dengan kontrak lex specialis.
“Jadi saya wanti-wanti saja kepada Wamen ESDM, jika ingin memaksa dan kemudian dilakukan (pengadilan) arbitrase dan kalah, maka akan sangat memalukan. Sehingga sebaiknya pemerintah harus berhati-hati soal hukum,” ujarnya. [rm]
(Sumber berita ; http://ekbis.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/10/22/43248/Menteri-Jero-Wacik-Mesti-Seret-Freeport-ke-Meja-Perundingan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar