Situasi Nasional Politik Perburuhan Indonesia
Hingga saat ini, Indonesia telah mengalami reorganisasi wilayah melalui berbagai macam undang-undang yang mengubah Indonesia sebagai negara pasar bebas dalam hal investasi, perdagangan dan keuangan negara. Banyak orang tidak menyadari hal ini, karena disangkanya telah hadir demokrasi dengan simbol keterbukaan di Indonesia, padahal itulah negara pasar bebas. Begitu negara ini telah alih fungsi sebagai pasar bebas, maka kedaulatan ekonomi-politik ada di tangan pedagang dan investor besar, dan rakyat Indonesia teralienasi dari tanah, kerja dan identitas kesejahteraan lokal/kebangsaannya.
Ekspansi kapital korporasi global telah mengalami konsolidasi secara rapi di masa reformasi ini, dengan menitikberatkan pada investasi di bidang pertambangan, gas dan mineral, serta perkebunan kelapa sawit. Geografi sumberdaya alam kita di seluruh Indonesia telah dieksplorasi dan dieksploitasi oleh perusahaan trans-national corporation/multi-national corporation dalam tempo terlama 90 tahun (sebagaimana ketentuan dalam UU Penanaman Modal Asing). Investasi kedua dititikberatkan di bidang transportasi, jasa dan manufaktur, yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja. Investasi ketiga dititikberatkan pada produksi pangan dan pengolahannya.
Sebagai payung dari ekspansi kapital ini, rezim Neoliberal kemudian menyusun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Penyusunan MP3EI yang diselenggarakan pada tanggal 18-19 April 2011 di Istana Bogor ini melibatkan pemerintah, Komite Inovasi Nasional, Komite Ekonomi Nasional, para direktur utama 39 BUMN, pengusaha yang tergabung di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia serta KADIN. Tujuan dari pelaksanaan MP3EI adalah untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8 program utama, yang meliputi sektor industri manufaktur, pertambangan, pertanian, pariwisata, telekomunikasi, energi dan pengembangan kawasan strategis nasional.
Untuk itu, pada tahun 2011 ini, penggenjotan terhadap masuknya investasi mulai dilakukan oleh rezim Neoliberal. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi bernilai ekonomis di Indonesia sepanjang tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 2.200-2.300 triliun. Nilai tersebut meningkat dari Rp 2.065 triliun pada 2010 dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,4 persen. Peningkatan investasi tersebut salah satunya didapat dari partisipasi para pemilik modal domestik yang tergabung dalam KADIN yang menyiapkan dana sebesar Rp 1.350 triliun atau setara dengan 150 miliar dollar AS. Sekitar 30 persen dari angka tersebut akan dialokasikan di sektor pertanian dan pertambangan. Penambahan angka investasi tersebut bahkan dijanjikan oleh KADIN jika kendala-kendala birokrasi, regulasi dan bottleneck dapat diatasi sehingga semua rencana investasi dapat diimplementasikan tanpa hambatan. Berkali-kali para pengusaha mengungkapkan bahwa salah satu penekanan yang penting adalah proyek pembangunan infrastruktur. Proyek infrastruktur ini memerlukan dukungan pendanaan pinjaman jangka panjang dengan bunga yang relatif rendah. Untuk itu, KADIN berharap pemerintah dapat merealisasikan kebijakan untuk mendukung pendanaan tersebut melalui percepatan pendirian Bank Pembangunan Indonesia (BPI). Selain itu, percepatan proyek pembangunan infrastruktur, rezim Neoliberal telah menyiapkan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang nantinya akan menjamin ketersediaan lahan untuk proyek pembangunan infrastruktur. Dampaknya tentu saja akan terjadi penggusuran massal di beberapa daerah hanya untuk dalih pembangunan.
Untuk mensukseskan MP3EI, sebanyak 26 BUMN dipastikan akan berinvestasi sebesar Rp 836 triliun. Sebagian dari investasi tersebut diarahkan pada pembangunan infrastruktur, khususnya membangun konektivitas di kawasan Indonesia Timur. Diperkirakan, investasi yang dilakukan 26 BUMN ini akan menyerap 6,6 juta tenaga kerja. Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, memaparkan 26 BUMN itu terdiri atas PR Pertamina, PT PLN, PT Telkom, BRI, Bank Mandiri, PT Pusri, BNI, Perum Bulog, PT PGN, Garuda Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Semen Gresik, PT Jamsostek, PT Taspen, PT Antam, PT Timah, PT Bukit Asam, PT Askes, BTN, PT PPA, PT Wijaya Karya, PT Adikarya, PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, Perum Pegadaian dan PT Kereta Api (PT KAI).
Sementara sisa dari dana yang dibutuhkan untuk merealisasikan MP3EI, seluruhnya akan diupayakan untuk menggaet para pemilik modal asing. Hal ini yang akhirnya memperlihatkan dominasi para pemilik modal asing di Indonesia. Dominasi pemilik modal asing semakin kuat pada sektor-sektor strategis, seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, serta perkebunan. Per Maret 2011, pemilik modal asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Secara perlahan, porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008, kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen.
Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi. Tak hanya perbankan, asuransi juga didominasi asing. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesai, tidak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari aturan pemerintah yang memungkinkan pihak asing memiliki sampai 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham perusahaan asuransi.
Pasar modal dan BUMN juga demikian. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Sementara dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing telah mencapai 60 persen. Lebih strategis lagi di sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasi asing.
Sementara untuk sektor industri, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), selama Januari-April 2011, sudah memberikan izin prinsip bagi 45 penanaman modal asing (PMA) dengan total nilai investasi 4,34 miliat dollar AS. Berdasarkan informasi dari BKPM, rata-rata penanaman modal asing tersebut berniat menginvestasikan danaya di bidang usaha perkebunan tanaman penghasil minyak serta industri minyak makan atau minyak goreng dari kelapa sawit maupun bukan kelapa sawit. Selain itu, juga ada beberapa penanam modal asing yang berencana menanamkan modal pada bidang usaha industri kakao, coklat dan kembang gula; pengolahan buah dan sayur; serta industri gula.
Untuk wilayah persebarannya, pemilik modal asing cenderung menanamkan modalnya mereka di luar Pulau Jawa ketimbang di Jawa. Komposisi penanaman modal asing yang ditanam di luar Jawa lebih besar dibandingkan penanaman modal dalam negeri di luar Jawa. Urutan pertama dan kedua penanaman modal asing (PMA) terbesar ada di Jawa, tetapi urutan ketiga, keempat dan kelima terbesar di luar Jawa. Sementara untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN), urutan kesatu, kedua dan ketiga masih di Jawa, baru urutan keempat dan kelima terbesar ada di luar Jawa.
Realisasi PMA periode Januari-Maret 2011 terbesar pertama dan kedua di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Investasinya masing-masing senilai 1,1 miliar dollar AS dan 800 juta dollar AS, atau 25,6 persen dan 19,4 persen dari total PMA periode itu, yakni 4,3 miliar dollar AS. Sementara PMA di luar Jawa mulai menduduki urutan ketiga, keempat dan kelima terbesar. Urutan ketiga terbesar di Sumatera Selatan (400 juta dollar AS atau 8,3 persen), keempat Papua (300 juta dollar AS atau 8 persen) dan kelima Kalimantan Barat (300 juta dollar AS atau 6,8 persen).
Untuk PMDN, investasi pertama, kedua, dan ketiga tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Investasinya masing-masing Rp 2,4 triliun (17,5 persen dari total PMDN), kedua Jawa Barat sebesar Rp 2,3 triliun (16,7 persen) dan ketiga DKI Jakarta senilai Rp 2,2 triliun (15,4 persen). Sasaran investasi PMDN di luar Jawa terkonsentrasi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Jumlah investasi yang masuk ke Sulawesi Tengah adalah Rp 1,2 triliun (8,7 persen) dan Sulawesi Selatan Rp 1,1 triliun (8 persen).
Ekspansi kapital korporasi global itu, telah pula mengalami konsolidasi yang rapi dengan kelompok-kelompok elit politik ayng saling berjaringan namun berkompetisi. Kelompok elit-elit politik yang menguasai negeri ini secara berjaringan dan berkompetisi disebut oligarki politik. Karakter mereka yang sangat merugikan rakyat pekerja adalah saling berlomba menghimpun sumber dana dari korupsi pajak, korupsi dari utang pada bank kapitalis untuk pembangunan, dan karena itu berebut kursi kekuasaan untuk memperoleh kesempatan menghimpun dana secara korupsi. Sementara rakyat pekerja hanya sekedar menjadi tenaga kerja murah, konsumen barang kapitalis, dan basis suara saat pemilu serta pemilukada saja.
Jejak Modal Asing dan Neoliberalisme Semakin Dalam
Salah satu agenda Neoliberalisme adalah merobohkan hambatan untuk perdagangan bebas dan investasi. Hambatan-hambatan tersebut dirobohkan melalui berbagai kebijakan yang dimunculkan oleh pemerintah, misalnya saja dengan UU PMA, UU Migas dan yang lainnya. Bahkan penerapan otonomi daerah juga menjadi salah satu pintu masuk penetrasi modal asing ke daerah-daerah. Sekitar 8.000 izin kuasa pertambangan dikeluarkan oleh pemerintah daerah sehingga hal ini semakin membuka peluang para pemilik modal menguasai secara langsung sumber daya tersebut.
Begitu juga di bidang pangan. Penetrasi pemilik modal asing melalui perusahaan multinasional di bidang pangan semakin kuat. Perusahaan asing di Indonesia tidak saja menguasai perdagangan, tetapi meluas dari hulu seperti sarana produksi pertanian, meliputi benih dan obat-obatan hingga industri pengolahan, pengepakan, perdagangan, angkutan hingga ritel. Pada awalnya mereka masuk ke perdagangan. Setelah itu, untuk memastikan terjaminnya pasokan barang, mereka juga masuk ke produksi. Untuk meningkatkan volume produksi, mereka kuasai industri benih dan menciptakan ketergantungan. Kemudian lebih lanjut ke industri pengolahan melalui akuisisi perusahaan nasional. Untuk menjamin produk mereka terjual, perusahaan asing juga masuk ke ritel.
Penetrasi modal asing ini dimungkinkan karena diciptakannya globalisasi perdagangan bebas melalui Free Trade Agreement (FTA). Dengan FTA inilah, maka rezim Neoliberal membuka pintunya terbuka lebar bagi invansi ekonomi kapitalis. Dalam situasi krisis ekonomi global, FTA seperti konstitusi dunia yang menentukan kedaulatan ekonomi sebuah negara. Sebagai negara pasar bebas, rakyatpun dimobilisasi ke dalamnya sebagai “kuli-kuli pasar bebas” yang dibuat saling bersaing dengan sesamanya dalam sistem kerja kontrak/outsourcing, ekspor tenaga kerja domestik, yang semuanya tanpa jaminan keselamatan dan kesejahteraan. Petani dan nelayan dibiarkan bersaing dengan pengusaha yang menguasai tanah hingga lautnya dengan teknologi dan modal besar, tanpa perlindungan. Layaknya dalam persaingan yang tidak seimbang, maka posisi petani, nelayan yang diusir dari tanah dan lautnya serta dibuat terasing sebagai buruh adalah yang mengalami kehancuran fatal selama pemerintahan rezim Neoliberal.
Jebakan Neoliberalisme di Kawasan Regional
Dalamnya cengkeraman jejak modal asing di Indonesia, sedikit atas kontribusi kesepakatan-kesepakatan yang berlangsung di kawasan internasional, baik itu melalui perjanjian multilateral ataupun perjanjian regional. Di tingkat regional, melalui ASEAN, Indonesia memiliki peran yang sangat penting karena merupakan salah satu negara pendiri organisasi kawasan Asia Tenggara tersebut. Pada tahun 2011, Indonesia bahkan resmi ditunjuk menjadi Ketua ASEAN, sekaligus menjadi tuan rumah KTT ASEAN ke 18. Secara geografis, kawasan ASEAN menempati posisi yang sangat strategis sebagai sebuah kawasan, demikian juga dengan bahan mentah yang sangat melimpah.
Di sisi lain, dengan pertumbuhan penduduk yang diperkirakan mencapai 600 juta jiwa pada tahun 2015, maka negara-negara di ASEAN juga akan menjadi target pasar yang menarik sehingga karena potensi bahan mentah yang melimpah, maka negara-negara ASEAN akan menjadi target investasi. Namun kenyataannya, kita tahu bahwa berbagai potensi yang dimiliki oleh negara-negara di ASEAN, terutama Indonesia, hingga saat ini belum memiliki kontribusi yang berarti untuk kesejahteraan rakyat. Potensi-potensi tersebut malah dimanfaatkan untuk mendorong kekuatan kapitalis atau pemilik modal asing untuk menjalankan skema Neoliberalisme dengan jalan melakukan intervensi secara ekonomi, politik, kebudayaan dan militer terhadap kawasan ASEAN.
Hal ini bahkan terlihat ketika negara-negara maju dan lembaga keuangan multilateral berebut untuk menginvestasikan dananya untuk menjalankan proyek integrasi ASEAN. Melalui Programme for Regional Integration Support (APRIS II), Uni Eropa memberikan 8,4 juta euro selama 3 tahun (2006-2009) untuk mendukung integrasi ASEAN. Pada tahun 2007, AS melalui USAID memberikan US$ 7 juta untuk technical assistance, single windows program dan integrasi pasar regional. Jepang mengkontribusikan sekitar US$ 90 juta pada tahun 2009 kepada ASEAN melalui Jepang Integration Fund untuk membangun skema kerjasama dengan ASEAN. Australia memberikan bantuan sebesar US$ 50 juta (2002-2008) untuk mengembangkan integrasi ekonomi antar negara-negara ASEAN melalui berbagai mekanisme seperti proyek jangka menengah mempromosikan integrasi ekonomi ASEAN, memperkuat daya saing melalui kegiatan kolaboratif antara ASEAN dan lembaga-lembaga Australia. Rencana negara-negara maju tersebut menuai keberhasilan dengan ditandatanganinya Piagam ASEAN, yang merupakan perjanjian yang legally bunding yang mengikat seluruh anggota ASEAN.
Negara-negara di ASEAN pada tanggal 15 Desember 2008, menyepakati pemberlakuan Piagam ASEAN atau ASEAN Charter. Kerjasama regional dan integrasi ekonomi untuk membangun ASEAN Community merupakan misi yang telah dinyatakan dalam ASEAN Charter. ASEAN membuat kemajuan yang cukup penting dalam usahanya menuju masyarakat regional yang terintegrasi, serupa dengan Uni Eropa, dengan memberlakukan ASEAN Charter ini dan mencatat tiga pakta perdagangan barang, jasa dan investasi. Piagam ini memberi identitas hukum untuk pengelompokan regional, yang akan mempengaruhi nasib lebih dari 500 juta populasi dan telah menetapkan serangkaian aturan lazim untuk topik seperti perdagangan, investasi dan lingkungan.
Namun Piagam ASEAN ini sendiri merupakan kerangka pelaksanaan agenda liberalisasi investasi, perdagangan, keuangan dan jasa. Dalam Piagam ASEAN disebutkan bahwa salah satu tujuan pembentukan ASEAN adalah “Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang didalamnya terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh; dan arus modal yang lebih bebas” (pasal 1 ayat 5). Pasal ini merupakan konsepsi penyatuan pasar diatas landasan Neoliberalisme dengan cakupan yang sangat luas meliputi seluruh isu ekonomi.
Piagam ASEAN hanya memperkuat payung hukum dari agenda Neoliberalisme yang dijalankan selama ini di ASEAN. Agenda perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN (AFTA) telah disepakati para kepala negara ASEAN dalam ASEAN Summit IV di Singapura pada bulan Januari 1992, ketika ditandatanganinya “Singapore Declaration and Agreement for Enhancing ASEAN Economic Cooperation”.
Berikut daftar urutan perjanjian mengenai AFTA
Waktu Perjanjian | Nama Perjanjian |
6 November 2001 | ASEAN China Comprehensive Economic Cooperation |
4 November 2002 | Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and People's Republic of China |
29 November 2004 | Trade in Goods Agreement and Dispute Settlement Mechanism Agreement |
8 Desember 2006 | Amandemen Protokol Framework Agreement |
Januari 2007 | Trade in Services Agreement |
Juni 2009 | Persetujuan Investasi ASEAN |
ASEAN kini telah menjalani kerangka FTA dengan berbagai negara industri yaitu ASEAN+3 (China, Jepang dan Korea Selatan). Hubungan kerjasama ASEAN dengan China diawali dengan ditandatanganinya ASEAN-China Comprehensive Economic Cooperation pada tanggal 6 November 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunai Darussalam. Kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan “Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and People's Republic of China” pada tanggal 4 November 2002 di Phnom Phen, dimana protokol perubahan Framework Agreement ini juga telah ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003.
Setelah negosiasi selesai, maka secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement and Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos. Persetujuan jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di Cebu, Filipina, pada bulan Januari 2007. Sedangkan Persetujuan Investasi ASEAN-China ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN pada tanggal 15 Agustus 1009 di Bangkok, Thailand. Indonesia sendiri telah meratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, dan utang dari Cina untuk negara anggota ASEAN. Perjanjian FTA lebih komprehensif dari kesepakatan WTO.
Dalam ACFTA disepakati akan dilaksanakan liberalisasi penuh pada tahun 2010 bagi ASEAN 6 dan Cina, serta tahun 2015 untuk Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar. Penurunan tarif dalam kerangka kerjasama ACFTA dilaksanakan dalam tiga tahap: Early Harvest Program (EHP); Normal Track; Sensitive Track (Sensitive List dan Highly Sensitive List).
Framework Agreement dan Protocol of Agreement
Kategori Barang | Perlakuan tarif dan Tahun Berlaku | Barang-barang yang masuk dalam kategori (diantaranya) |
Early Harvest Program | Penurunan tarif 0% berlaku 1 Januari 2006 | Binatang hidup, ikan, produk susu, tumbuhan, sayuran (kecuali jagung manis dan buah-buahan) |
Normal Track | Penurunan tarif 0% berlaku 1 Januari 2010 | Batu bara, polycarboxylic acids, kayu, petrokimia lainnya, kawat tembaga – kurang lebih 1880 pos tarif |
Sensitive Track | Penurunan tarif 20% berlaku 1 Januari 2012 | Barang jadi kulit, tas, dompet, alas kaki, sepatu sport, kulit, kacamata, alat musik: tiup, petik, gesek, mainan: boneka, alat olah raga, alat tulis; besi dan baja, onderdil (spare part), alat angkut, glokasida dan alkaloid nabati, senyawa organik, antibiotik, kaca, barang-barang plastik – kurang lebih 304 produk |
Highly Sensitive Track | Penurunan tarif 50% berlaku 1 Januari 2015 | Beras, gula, jagung dan kedelai; produk industri tekstil dan produk tekstil (ITPT); produk otomotif; produk keramik alat-alat makan (Ceramic tableware) – 47 produk |
Sumber: Keputusan Menteri dan Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI
Indonesia telah diatur oleh FTA sejak dicanangkannya AFTA pada tahun 2002. Kemudian berlanjut ketika Indonesia, sebagai negara anggota ASEAN, terlibat dalam CAFTA sejak 2004. Jepang-Indonesia EPA pada 2007, dengan New Zealand-Australia (NZFTA), dengan Uni Eropa dan juga dengan AS.
Namun jelas penerapan FTA tersebut memiliki dampak buruk bagi industri nasional, dan terlebih lagi bagi kaum buruh. Berdasarkan hasil survey Badan Pusat Statistik periode 2006-2008, setelah penerapan CAFTA, tercatat sedikitnya 1.650 industri mengalami kebangkrutan yang diikuti oleh PHK massal sekitar 140 ribu orang tenaga kerja. Sebuah angka yang fantastis dan belum pernah terjadi sejak krisis 1998. Bahkan sesuai data di Depnakertrans, mulai 2009 hingga Maret 2010 telah tercatat 68.332 orang yang di PHK dan 27.860 pekerja menyusul akan dirumahkan. Hal ini belum termasuk kerugian yang diderita petani dan UKM yang produknya tidak mampu bersaing dengan barang-barang murah dari Cina.
Di sisi lain, FTA semakin meningkatkan impor berbagai produk industri dan pertanian pada tingkat tarif bea masuk yang sangat rendah bahkan mencapai titik nol persen pada tahun 2010. Penerapan CAFTA telah meningkatkan secara tajam impor dari Cina. Cina mengambil sebagian besar keuntungan dari skema perdangangan bebas yang disepakati dalam kerangka ASEAN tersebut. Tahun 2010, sebanyak 20,32 persen impor Indonesia berasal dari Cina dan meningkat 226,32 persen antara 2005-2010, dan diikuti oleh Jepang, Singapura serta Amerika Serikat. Dalam periode yang sama, Indonesia mengalami defisit perdagangan 2 kali lipat terhadap Cina.
Dampaknya Kepada Buruh
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa dampaknya jejak modal asing dengan kondisi perburuhan di Indonesia?
1. Pembedaan Kelas di Kalangan Buruh
Perdagangan bebas yang berjalan di Indonesia, pada kenyataannya hanya memberi keuntungan pada negara-negara maju dan besar saja. Sementara Indonesia sebagai negara berkembang menjadi sapi perahan bagi negara-negara industri maju. Hambatan-hambatan perdagangan pun dirobohkan hanya untuk memastikan perdagangan bebas dapat dijalankan dengan sempurna. Penghancuran hambatan perdagangan tersebut tentunya berimplikasi pada kekuatan daya saing industri nasional dan buruh di Indonesia.
Sistem kerja kontrak dan outosurcing menjadi senjata paling ampuh untuk memastikan ketersediaan buruh yang bisa diupah murah. Sistem kerja kontrak dan outsourcing mempermudah para pemilik modal untuk memecat buruhnya, jika dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Penggunaan buruh kontrak dan outosurcing sendiri bukan merupakan hal yang baru di Indonesia, namun mengalami peningkatan sejak disahkannya UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Peningkatan buruh kontrak dan outsourcing dapat dilihat dari data yang dilansir oleh Lembaga Buruh Internasional (ILO) pada tahun 2010, yang menyatakan di Indonesia ada 65 persen pekerja kontrak dan outosurcing. Artinya hanya tinggal 35 persen pekerja tetap dari 33 juta pekerja formal di Indonesia. Hasil investigasi DPP GSBI bahkan menunjukkan jumlah buruh kontrak dan outsourcing pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 66,425 persen di Indonesia. Sektor yang paling banyak menggunakan sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah sektor/industri jasa (satpam, Cleaning Service, ritel, perbankan dan lain-lain) yang jumlahnya mencapai 85 persen. Kemudian disusul dengna sektor/industri garment-tekstil dan sepatu yang jumlah diperkirakan mencapai 65 persen, sektor industri metal dan elektronik diperkirakan sekitar 60,7 persen, dan sektor/industri dasar dan pertambangan diperkirakan mencapai 55 persen.
Praktek sistem kerja kontrak dan outsourcing pada akhirnya memunculkan polarisasi buruh di dalam perusahaan berdasarkan status hubungan kerja, yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing. Lebih sederhananya, penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing menciptakan dua kelas pekerja, yakni pekerja tetap yang menduduki kelas pertama dan pekerja kontrak dan outsourcing yang menduduki kelas kedua.
Polarisasi ini diwujudkan melalui pembedaan hak-hak pekerja dan pembedaan fisik melalui pakaian seragam. Cara ini sangat efektif untuk menciptakan jarak dan membatasi pergaulan di antara kelompok pekerja yang berbeda status serta menciptakan perbedaan kepentingan sehingga dengan demikian menghindarkan munculnya solidaritas.
2. Pelemahan Kekuatan Serikat Buruh
Tujuan dari fleksibilitas pasar tenaga kerja, dalam bentuk konkritnya adalah sistem kerja kontrak dan outsourcing, adalah menghilangkan semua hambatan gerak modal. Pelemahan serikat buruh adalah salah satu diantaranya. Fungsi perlindungan negara terhadap pekerja dan serikat buruh “dipaksa” oleh modal untuk dihilangkan melalui berbagai mekanisme ekonomi politik. Dalam sejarah penerapan fleksibilitas di Inggris, fleksibilitas dilakukan untuk mematahkan kekuatan kontrol serikat terhadap pekerjaan dan kekuatan negosiasi mereka.
Pandangan kebanyakan pemilik modal di Indonesia selalu saja menganggap serikat buruh hanya sebagai pengganggu kelancaran produksi melalui upaya-upaya pemenuhan hak normatifnya. Penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing membawa efek berkurangnya pekerja tetap yang menjadi basis serikat buruh. Hal ini kemudian menjadi upaya sistematis untuk memberangus serikat buruh.
3. Buruh Migran Tidak Menjadi Prioritas
Jebakan Neoliberalisme di kawasan ASEAN akhirnya juga mempengaruhi kehidupan para buruh migran. Seperti yang dijelaskan di atas, dalam piagam ASEAN akhirnya juga mengatur arus lalu lintas buruh migran di kawasan ASEAN. Diperkirakan jumlah buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri sebesar 4,5 juta orang. Sebagian besar diantara mereka adalah perempuan (sekitar 70%) dan bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur. Selebihnya, sekitar 30% adalah laki-laki yang bekerja sebagai buruh perkebunan, kosntruksi, transportasi dan jasa.
Dari data Bank Indonesia, remitansi buruh migran paling banyak berasal dari Malaysia sebesar US$ 767,96 juta per Aril 2011, lalu disusul Arab Saudi sebesar US$ 759,03 juta. Selanjutnya disusul Taiwan sebesar US$ 158,95 juta dan Hongkong US$ 151,87 juta. Jumlah total remitansi per April 2011 sebesar US$ 2,225 miliar meningkat tipis dibanding April 2010 sebesar US$ 2,222 miliar. Sebagai bahan perbandingan jumlah total remitansi sepanjang 2010 yaitu US$ 6,73 miliar.
Sedangkan dari sisi jumlah penempatan buruh migran, paling besar dikirim ke Arab Saudi sebanyak 58.335 orang pada Arpil 2011, menurun dibanding April 2010 sebanyak 76.502. Total penempatan buruh migran ke Arab Saudi sepanjang 2010 sebanyak 228.890 orang. Urutan kedua yaitu Malaysia dengan jumlah penempatan buruh migran 33.485 orang per April 2011 atau menurun dibanding April 2010 sebesar 37.529 orang. Sepanjang 2010, jumlah penempatan ke Malaysia 115.624 orang.
Sedangkan total penempatan buruh migran ke seluruh dunia sebanyak 570.285 orang sepanjang 2010. Jumlah itu menurun dibanding 2009 sebanyak 636.813 orang.
Besarnya jumlah buruh migran Indonesia di seluruh dunia serta memberikan kontribusi yang sangat besar kepada devisa negara, namun tidak berbanding lurus dengan perlindungan yang didapat oleh buruh migran Indonesia dari pemerintah. Bahkan dalam pidato pembukaan KTT ASEAN ke 18 pada tanggal 7-8 Mei 2011, Presiden SBY memaknai persoalan buruh migran sebagai ancaman politik kawasan ketimbang sebagai penggerak ekonomi regional kawasan ASEAN.
Pernyataan SBY pada pidato pembukaan KTT ASEAN ke 18, sedikit banyak mencerminkan pandangan para kepala negara di kawasan ASEAN atau bahkan di negara penerima buruh migran Indonesia di dunia. Untuk di kawasan ASEAN, negara-negara anggota ASEAN hingga saat ini tidak membahas instrumen operasional bagi perlindungan buruh migran yang bekerja di kawasan ASEAN. Padahal instrumen operasional bagi perlindungan buruh migran yang bekerja di kawasan ASEAN merupakan mandat dari ASEAN Declaration on Promotion and Protection the Rights of Migrant Workers, yang ditandatangani oleh 10 kepala negara dalam KTT ASEAN di Cebu, Fipilina pada tahun 2007. Dalam setiap putaran pembahasan yang dilakukan oleh ASEAN Comittee on Migrant Workers, negara-negara penerima (terutama Malaysia dan Singapura) mensabotase mandat deklarasi dan selalu menghambat langkah yang lebih maju.
Sementara beberapa negara di kawasan Timur Tengah juga melakukan penolakan terhadap Konvensi ILO tentang Pekerjaan yang layak untuk Pekerja Rumah Tangga, khususnya mengenai hari libur untuk pekerja rumah tangga. Negara-negara di kawasan Timur Tengah, seperti Kuwait dan Lebanon, menyatakan penolakannya karena bertentangan dengan “tradisi dan etika umum” yang berlaku di negara-negara tersebut. Padahal negara-negara di kawasan Timur Tengah ini menerima sekitar 25 juta orang pekerja rumah tangga, yang kebanyakan berasal dari negara-negara Asia.
Persatuan untuk Melawan Hegemoni Neoliberalisme
Secara keseluruhan, gerakan buruh di Indonesia sampai saat ini belum dapat mentransformasikan agenda perjuangan normatifnya menjadi perjuangan politik kelas. Gerakan buruh saat ini masih sebatas berjuang di tingkat serikatnya atau federasi serikat buruhnya, bahkan ada kemungkinan belum mampu membangun front permanen dengan sesama federasi buruh. Persatuan gerakan buruh masih dimaknai untuk kebutuhan aksi temporer, seperti Mayday. Bahkan justru cenderung semakin sektoral dengan problem normatifnya dan tidak berusaha untuk merangkul organisasi yang sama-sama berada di arena kontradiksi kapitalis, baik yang berkarakter kelas (petani, nelayan, miskin kota) maupun yang berkarakter non-kelas (seperti perempuan, mahasiswa, lingkungan, HAM).
Sementara disisi lain, seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa ekspansi kapital korporasi global telah mengalami konsolidasi yang rapi dengan kepentingan-kepentingan elit politik yang saling berjaringan namun berkompetisi. Oligarki politik yang terdiri dari kelompok elit-elit politik yang menguasai negeri ini saling berlomba menghimpun sumber dana dari korupsi pajak, korupsi dari utang pada bank kapitalis untuk pembangunan, dan karena itu berebut kursi kekuasaan untuk memperoleh kesempatan menghimpun dana secara korupsi.
Persatuan antar seluruh elemen gerakan rakyat menjadi penting ketika ingin melawan persatuan oligarki politik dan pemilik modal. Hegemoni Neoliberalisme yang diusung oleh oligarki politik dan pemilik modal membuat hampir seluruh rakyat Indonesia memaklumi kondisi kehidupan yang ada saat ini. Namun pada kenyataannya, kemiskinan yang ada saat ini jelas-jelas disebabkan sistem Neoliberalisme yang diusung oleh penguasa dan hanya dinikmati keuntungannya oleh segelintir orang.
Sudah cukup penindasan yang dilakukan oleh mereka. Saatnya membangun persatuan antara seluruh elemen gerakan rakyat untuk melawan Hegemoni Neoliberalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar