Oleh : Etin Rodiana ( SEKJEND FSP2KI)
Kawan- kawan…buruh dan petani adalah merupakan bagian tak terpisahkan, sebagai kaum yang sama- sama terinjak- injak dalam kekuatan neoliberalisme. Oleh karena itu dalam memperingati Hari Tani Nasional ini perkenankan saya mengutip sebuah artikel menarik dari blog rumahkampungkota tentang posisi buruh dan tani, semoga dapat menginspirasi kita untuk terus memperjuangkan posisi buruh dan tani melawan ketidakadilan.
“Teknisi Kekuasaan (Policy Wonk) adalah musuh utama Buruh dan Petani”
Konsep tentang buruh (dan petani) dewasa ini mengalami degradasi makna dan bahkan pemaknaan yang negatif, tidak hanya dalam debat filosofis, tetapi juga dalam teori perundang-undangan, politik dan terutama ekonomi. Semula buruh (dan petani) mengacu terutama pada persoalan nilai. Konsep tentang buruh-tani dan nilai mengandung makna saling memaknai: buruh-tani mengandung makna sebagai upaya dan faktor penciptaan nilai.
Dalam pemahaman ini buruh-petani berfungsi sebagai kekuatan analitik sosial yang memaknai produksi nilai melintasi seluruh spektrum sosial, termasuk ekonomi dan budaya. Melihat buruh dan petani di dalam konteks proses penciptaan nilai bisa menjadi lensa yang tepat dan paling jernih untuk melihat keseluruhan produksi, tidak hanya sekedar produksi pengetahuan dan identitas (sebagai suatu kelas), tetapi produksi keseluruhan masyarakat.
Karena itu buruh dan petani harus dilihat tidak hanya sebagai kekuatan destruktif terhadap masyarakat kapitalis, tetapi sebagai suatu proposisi atau afirmasi dari suatu jenis masyarakat – suatu pengkarakteristikan masyarakat. Buruh dan petani adalah bagian utuh dari suatu masyarakat (sistem sosial) yang memberi nilai terhadap keseluruhan sistem ekonomi dan budaya masyarakat tersebut. Buruh dan petani menjadi komponen utama dari pemaknaan kehidupan sosial, kultural dan ekonomi, serta terhadap kemanusiaan itu sendiri. Buruh dan petani memberi fondasi bagi pemaknaan nilai kemanusiaan di dalam sistem kemasyarakatan.
Negara dibangun di atas pemaknaan nilai yang diciptakan oleh basis sosial dan ekonomi dari masyarakatnya. Berbeda dari sejarah terbentuknya negara di Eropa yang berkembang dari negara kota (city states), negara seperti Indonesia dibangun di atas proses produksi dari keseluruhan produksi di mana komponen buruh dan petani menjadi fondasi pemaknaan tatanan sosial dan tatanan kenegaraan. Di dalam tatanan sosial paling kecil sekalipun (komunitas), tatanan sosial, ekonomi dan budaya dibangun di atas nilai yang dihasilkan secara kolektif melalui proses produksi yang sistematis di mana buruh dan petani menjadi komponen utama yang utuh dari penciptaan nilai di dalam masyarakat tersebut. Karena itu komunitas menciptakan institusi dan aturan main untuk melindungi komunitas dan warganya.
Demikian pun seharusnya Negara yang dibangun sebagai sistem sosial dan politik; buruh dan petani merupakan peletak dasar fondasi kenegaraan. Karena itu pantaslah jika konstitusi Indonesia menempatkan ”perlindungan dan pencapaian kesejahteraan rakyat seluruhnya dan seutuhnya” sebagai tujuan bernegara.
Jika buruh adalah basis dari nilai, maka nilaipun adalah basis dari buruh. Apa yang disebut buruh, atau kerja penciptaan nilai, selalu bergantung pada nilai-nilai yang ada di dalam konteks sosial dan historis tertentu.
Dengan kata lain, buruh tidak hanya didefinisikan sebagai kegiatan, apa pun kegiatan tersebut, tetapi khususnya kegiatan yang diakui secara sosial sebagai penciptaan nilai. Kerja yang mencakup buruh tidak pernah tetap (fixed) atau given, tetapi ditentukan secara sosial dan historis, dan juga mencakup wilayah konstelasi sosial. Yang semakin menonjol adalah nilai kerja perempuan (use value of female labor).Fenomena umum yang paling penting dari transformasi buruh dewasa ini adalah perubahan ke arah masyarakat-pabrik (factory-society). Proses penciptaan nilai tidak lagi dikonsen-trasikan dalam lingkungan bangunan pabrik, tetapi seluruh masyarakat dijadikan pabrik.
Di tengah menguatnya kekuatan neoliberal, di mana teknisi kekuasaan atau teknokrat (policy wonk, menuruh Hannah Arendt) menjadi pemain utama dalam menerjemahkan konstitusi ke dalam aturan-perundang-undangan yang operasional, Negara pun dimaknai hanya sebagai salah satu subyek dari statecraft.
Ketatanegaraan di dalam pandangan kaum neoliberal hanyalah sebuah kekuatan abstrak yang mekanis dan instrumental untuk mengatur pemerintahan. Negara sebagai puncak konsensus seluruh unsur kekuatan sosial, budaya, politik dan kemanusiaan mulai menghilang, dan hanya dilihat sebagai instrumen liberal untuk menguasai pemerintahan. Negara yang seharusnya menjamin dan memberi perlindungan terhadap rakyatnya, oleh para teknisi kekuasaan neoliberal, justru dipakai untuk meniadakan kekuatan-kekuatan yang dianggapnya menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan neoliberal yang menguntungkan kelas kapitalis (domestik dan global). Di dalam situasi krisis di mana kekuatan buruh dan petani menguat dan mendesak akan adanya perubahan, para teknisi kekuasaan bukannya membangun institusi mediasi dan penyelesaian sengketa, tetapi justru mendorong penyingkiran (eksklusi dan disposesi): baik mengeksklusikan buruh (dan petani) dari proses negosiasi tradisional maupun eksklusi buruh dari tempat produksi atau eksklusi petani dari lahan produksinya.
Eksklusi buruh dan disposesi lahan petani dilakukan dengan berbagai cara: mulai dari yang halus sampai cara-cara yang kasar: mekanisasi dan komputerisasi, free exit dan repatriasi tanpa tanggung jawab sosial, sampai kepada free labor market. Semua metode eksklusi dan disposesi ini menempatkan buruh dan petani serta keseluruhan warga negara sebagai konsumen. Buruh dan petani diper-lakukan sebagai konsumen (dari lapangan kerja dan penyediaan lahan) yang harus tunduk pada hukum pasar: permintaan dan penawaran. Jika permintaan banyak (unemployment rate tinggi), maka harus menerima fakta gaji rendah dan perlakuan yang tidak wajar. Jika suppliermelihat bahwa pasar lain lebih baik, industri bisa saja dipindahkan ke mana pun.Di mana posisi negara di dalam situasi seperti ini ?
Negara yang dikuasasi para teknisi kekuasaan neoliberal, didukung kepartaian yang dikuasai oleh para self- seeking politicians dan rent-seeking intellectuals, justru memfasilitasi proses penguatan sistem dimana buruh-tani, seluruh warga negara menjadi konsumen...(ER)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar