Jumat, 24 June 2011
Gagasan menghentikan pengiriman TKI ke suatu negara acapkali muncul setelah ada kasus memilukan. Tetapi upaya penegakan hukum terhadap badan hukum atau orang yang mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri jangan dilupakan.

Gagasan hentikan pengiriman TKI ke suatu negara seringkali
setelah ada kasus memilukan. Foto: Monitor indonesia.
Kasus eksekusi Ruyati, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, telah memicu kemarahan masyarakat. Pemerintah dianggap tidak berusaha maksimal, meskipun akhirnya anggapan itu langsung dibantah. Hampir bersamaan dengan mencuatnya kasus ini, Mahkamah Agung mengunggah sebuah putusan penting dan relevan di dalam laman resminya.
Putusan ini layak untuk dikemukakan sebagai contoh betapa pentingnya penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan tindak pidana pengiriman TKI ke luar negeri. Bahkan terhadap warga negara asing sekalipun.
Adalah Essam Yahia Aly Hassan, warga negara Mesir, yang harus merasakan pengapnya penjara di Indonesia. Sebab, pada Februari lalu, permohonan kasasinya ditolak majelis hakim agung yang dipimpin Imron Anwari. Itu berarti hukuman judex factie jadi berkekuatan hukum tetap.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis lima tahun penjara potong masa tahanan. Hakim banding juga menjatuhkan denda satu miliar rupiah, dengan ketentuan jika denda tak bisa dibayar diganti hukuman enam bulan kurungan. Terdakwa juga masih harus membayar biaya perkara lima juta rupiah.
Vonis itu dijatuhkan atas kejahatan terdakwa berupa tindak pidana penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan menyalahgunakan izin keimigrasian. Perbuatannya mengirimkan TKI dianggap melanggar ketentuan pasal 102 ayat (1) huruf a UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, dan pasal 50 UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Peristiwa yang menjerat pria kelahiran 29 Juli 1970 itu berkaitan dengan pengiriman seorang TKI, Dewi Fatmah, ke Yaman. Ceritanya bermula dari kedatangan saksi Hj Tita mendatangi kediaman dan meminta kesediaan Dewi bekerja di kawasan Arab. Dewi bersedia asal dikirimkan ke Mesir.
Besoknya, Tita membawa Dewi dari rumahnya di Cikujang, Sukabumi, menuju Cianjur untuk menemui seorang sponsor pemberangkatan TKI. Setelah mengurus dokumen, Dewi dibawa ke Jakarta dan ditampung di kawasan Batu Ampar Kramatjati. Di penampungan ini, terdakwa mewawancarai Dewi. Terdakwa menjanjikan gaji 250 dolar AS per bulan dan kepastian kontrak kerja selama dua tahun.
Pada 29 Desember 2008, Dewi dibawa ke bandara Sukarno Hatta. Tiba-tiba di bandara, terdakwa mengatakan Dewi tak jadi dikirim ke Mesir, melainkan ke Yaman. Lantaran sudah di bandara, Dewi tak bisa menghindar. Padahal saat itu belum ada kontrak kerja. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Yaman pun belum punya perjanjian pengiriman TKI. Di Yaman, Dewi sering disiksa majikan. Seperti tertuang di berkas putusan, Dewi melarikan diri ke KBRI gara-gara tak kuat menanggung siksaan majikannya. Setelah tujuh bulan di KBRI, Dewi bisa dipulangkan ke Indonesia menggunakan Surat Perjalanan Laksana Paspor.
Menurut jaksa, selaku orang perorangan, Essam Yahia tak berhak dan izin resmi untuk mengirimkan TKI ke luar negeri. Lagipula ditemukan fakta, terdakwa memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) hingga 25 Juni 2009. Terdakwa yang bekerja di Singapura sering ke Indonesia lantaran menikahi seorang perempuan Indonesia. Izin yang diberikan adalah izin kunjungan. Tidak ada izin terdakwa memberangkatkan TKI. Perbuatan terdakwa mengirimkan Dewi ke Yaman tak sesuai dengan izin imigrasi yang diberikan. Di PN Jakarta Selatan, jaksa mendakwa Essam secara alternatif. Selain pidana pengiriman TKI dan keimigrasian, terdakwa dituduh melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Di PN Jakarta Selatan, hakim hanya menyatakan terdakwa terbukti melanggar aturan keimigrasian dan menjatuhkan vonis tiga tahun penjara. Pengadilan Tinggi membatalkan hukuman itu. Tak terima putusan banding, terdakwa ajukan kasasi. Dalam permohonan kasasinya, terdakwa menilai judex factie telah keliru mempertimbangkan hukum. Apalagi saksi korban, Dewi, tidak dihadirkan di persidangan sehingga melanggar pasal 185 KUHAP. Terdakwa juga menilai Pengadilan Tinggi ‘memiliki semangat yang tinggi untuk menghukum pemohon kasasi/terdakwa’.
Namun Mahkamah Agung menyatakan Pengadilan Tinggi telah membuat pertimbangan dan putusan yang tepat. Terdakwa terbukti mengirim saksi korban ke luar negeri tanpa izin yang sah.
Kisah Essam Yahia hanya secuil cerita tentang karut marut pengiriman TKI ke luar negeri. Entah kapan kasus-kasus memilukan TKI berakhir.
(Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar