22 June 2011 |
Hanya berselang empat hari setelah Presiden RI menyerukan perlindungan bagi buruh di depan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada peringatan 100 tahun ILO di Jenewa, seorang pahlawan devisa dieksekusi mati oleh Pemerintah Arab Saudi.
Minggu, 19 Juni 2011 sekali lagi rakyat Indonesia dikagetkan berita hukum pancung bagi Ruyati salah seorang pekerja migran asal Bekasi di Pengadilan Mekah, Arab Saudi. Pengadilan menyatakan bahwa Ruyati terbukti melakukan pembunuhan terhadap majikannya dan memutus Ruyati dengan hukuman pancung. Meskipun perbuatan membunuh tidak dibenarkan, namun Ruyati mengambil jalan itu lantaran bentuk mempertahankan diri dari kekerasan seksual, penyiksaan, depresi berat dan akumulasi dari seluruh kekerasan yang dialaminya selama bertahuan-tahun. Ironisnya, hukuman mati tersebut terjadi hanya empat hari setelah Presiden RI mendapat standing applause dari peserta konvensi di Jenewa, atas komitmennya mendukung pengesahan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Dukungan Presiden RI terhadap pengesahan Konvensi ILO seperti dijelaskan oleh Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan adalah awal komitmen negara Indonesia melindungi buruh, termasuk buruh migran Indonesia dimanapun dia berada.
Hukuman pancung yang menimpa Ruyati sangat mencederai harga diri bangsa Indonesia yang bermartabat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kematian Ruyati merupakan bentuk kegagalan diplomasi pemerintah Indonesia kepada Pemeritah Arab Saudi untuk melindungi setiap warga negaranya agar bebas dari segala bentuk penyiksaan, seperti yang tercantum dalamKonvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat, dimana Indonesia telah merativikasi pada tahun 1998 melalui Undang Undang Nomor 5 tahun 1998.
Kasus Ruyati sebetulnya bukan yang pertama. Hingga tahun 2011 terdapat 28 pekerja migran Indoneseia yang menjadi korban hukuman pancung peradilan Arab Saudi. Saat ini juga terdapat 16 perempuan TKI di Timur Tengah dan Malaysia sedang berperkara dan mendapat ancaman hukuman mati. Berbagai persoalan tersebut diantaranya hilangnya hak pekerja migran atas bebas dari perlakuan diskriminasi dan penyiksaan, upah yang layak, perlindungan kerja, bebas dari eksploitasi dan kekerasan, serta perlindungan hak-hak anggota keluarga mereka.
Kejadian yang menimpa Ruyati juga menunjukkan betapa lemahnya koordinasi penyelenggara negara antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2 TKI), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Kedutaan besar Indonesia untuk Saudi Arabia.
Berbagai persoalan tentang pekerja migran seharusnya menjadi moment penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Mengingat Indonesia merupakan pengirim buruh migran terbesar di Asia Tenggara, maka dengan meratifikasi konvensi ini pemerintah memiliki dasar pijakan penting bagi pengaturan sistem migrasi ketenagakerjaan. Dalam sistem hukum nasional yang melindungi HAM pekerja migran dan anggota keluarganya dapat segera dirumuskan dalam revisi UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Ratifikasi juga menjadi acuan dasar bagi pembentukan perjanjian baik bilateral maupun multilateral yang terkait dengan migrasi ketenagakerjaan. Negara juga akan mampu meningkatkan posisi tawar diplomasi untuk menuntut perlindungan maksimal kepada negara penerima pekerja migran. Dengan meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 pekerja migran memilki kesetaraan dalam hal perlindungan dengan pekerja lokal, dimana negara harus menjamin perlindungan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya dalam setiap fase migrasi dan status migrasi (berdokumen dan tidak berdokumen) dari area asal, transit dan tujuan kerja.
Pendampingan hukum cuma-cuma bagi BMI di luar negeri yang mengalami masalah harus segera disediakan secepatnya. Mengingat menurut data dari Kemenlu hingga saat ini masih 200 pekerja migran di Luar Negeri mengalami gugatan perdata dengan ancaman hukuman mati. Agar kasus Ruyati tidak terulang, untuk itu Komnas Perempuan dan masyarakat sipil perlu dengan intensif mengawal proses tersebut.
Ada baiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau belajar dari KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang saat itu menjabat Presiden RI. Beliau pada tahun 1999 berhasil menggagalkan hukuman pancung yang dijatuhkan kepada Siti Zaenab di Arab Saudi, dengan melakukan diplomasi tingkat tinggi kepada Raja Fahd. Sudah saatnya pula Presiden RI berkomitmen serius melakukan perlindungan terhadap pekerja migran seperti disampaikan dalam pidatonya di hadapan peserta Konvensi ILO di Jenewa, dan tidak sebatas retorika semata. Mengingat pidato kepala negara merupakan cermin komitmen bangsa.( Veni Siregar )
(Sumber : http://www.komnasperempuan.or.id/2011/06/perlindungan-terhadap-buruh-migran-komitmen-atau-hanya-retorika)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar