Pendidikan Lintas Federasi
Pulau Condong - Lampung Selatan
24 - 25 November 2018
Delegasi SP3-TEL : Fredo Fetsha Pratama, Ari Candra, Didi Palepi dan Iryansyah
(dari kiri ke kanan)
Penyerahan Sertifikat Pendidikan Paralegal
Delegasi SP3-TEL : Fredo Fetsha Pratama, Alpin Akli, Didi Palepi, Iryansyah dan Ari Candra
(dari kiri ke kanan)
Repost Tulisan Bung Khamid Istakhori
-catatan reflektif, Pendidikan Pinggir Pantai, 25 November 2018-
Tulisan ini merupakan catatan tertunda, yang saya posting belakangan. Cerita mengenai refleksi pendidikan Serikat Buruh Lintas Federasi di Pulau Condong, Lampung, 25 November 2018. Pertama, Pendidikannya menarik, terutama karena pilihan tempat. Selain terpencil dan membuat peserta fokus, juga efektif mencegah peserta kabur. Bayangkan, butuh nyebrang pulau untuk pulang! Kedua, panitianya sangat profesional. Semua kebutuhan tersedia: makan, minum, dan kebutuhan lainnya. Berlimpah malahan. Ketiga, materinya keren juga. Keempat, peserta berasal terdiri dari 5 Federasi, 2 Konfederasi, dan 3 Global Union (BWI, IUF, dan IndustriAll).
Ada 3 sesi penting. Pertama Bung Nelson membawakan materi mengenai advokasi dan ini adalah materi utama dalam pendidikan. Dari jam 11 siang hingga5 sore, Bung Nel solo karier. Babat habis materi advokasi. Sebenarnya, kasihan juga dia ngisi pendidikan sendirian. Permintaannya untuk memberikan materi bergantian ditolak panitia (Hahahaha). Sampai malam, hujan! Kami punya acara namanya refleksi. Nah, acara itu saya jadi pemandunya. Saya mendapatkan banyak cerita dari peserta. Inti pertanyaannya adalah: kapan anda mulai berserikat, apa yang memicunya, dan mengapa sekarang masih bertahan. Semua seneng karena pengalamannya didengar. Acara yang berlangsung sangat akrab itu, hanya mampu dihentikan ketika panitia berteriak memanggil kami; tanda ikan bakar sudah siap. Malam itu, kami melahap lebih 50 ekor ikan layang, khas pulau Condong, tanpa nasi. Habis!
Acara pagi, rupanya Bung Eko Sumaryono terlambat datang. Saya, ditodong Panitia untuk kasih materi, satu jam saja, sambil nunggu pemateri nyebrang pulau. Saya ngomong mengenai perbandingan serikat pelayanan vs serikat pengorganisasian. Saya kaget karena model serikat pertama, serikat pelayanan, service union masih populer dan belum banyak yang beralih ke organizing union. Serikat yang menjadikan semua kegiatannya untuk mengorganisasi partisipasi anggota. (Kelak, saya akan membuat tulisan khusus mengenai ini). Dus, sejam bicara, saya diteriaki panitia,” Mas Eko sudah datang!” Saya berhenti. Beginilah nasib jadi pemateri pengganti, hahahaha. Lalu, Eko berbicara mengenai sistem pengupahan. Pengalamannya memimpin negosiasi team SB Nestle, bernegosiasi dengan head office di Jenewa, selama 7-8 tahun, dan akhirnya menghasilkan skala upah di Nestle, kentara banget. Semua materi disampaikan sistematik dan agitatif! Eko berhenti sampai makan siang!
Sesudah makan siang, giliran saya kasih materi. Tapi sial! Sebelum saya mulai, panitia bilang kalau acara akan selesai jam 5 sore, jadi tenda harus dibongkar lebih cepat. Lalu, dan ini yang penting, kondisi saya drop. Selain radang tenggorokan yang lumayan parah yang saya rasakan sejak berangkat dari Jakarta dan demam yang sedemikian rupa, sejujurnya saya melihat peserta sudah kecapekan. Ini manusiawi. Bayangkan, peserta dari Muara Enim menempuh perjalanan semalaman, selama 8 jam. Tidak tidur, nyebrang pulau, dan langsung ikut pendidikan. Ini, jadi catatan penting juga buat semua panitia pendidikan: jangan biarkan peserta pendidikan kelelahan. Melihat situasi gawat ini, saya beralih rencana!
Saya ambil kertas besar (bekas alas duduk peserta), ukurannya sekitar 2 meter x 1,5 meter. Saya gambar diatasnya siluet pohon mangga, lengkap dengan akar dan daun yang lebat. Karena tenda akan dibongkar, saya ajak mereka diskusi di pinggir pantai. Rupanya mereka menikmatinya! Lalu, kepada 4 kelompok diskusi, saya berikan 2 pertanyaan:
1. Hal apa saja yang bisa membuat pohon mangga mati?
2. Hal apa saja yang harus dilakukan untuk membuat pohon mangga kita semakin kuat?
30 menit mereka berdiskusi! Saya, sambil menahan radang, berkeliling memberikan arahan kepada peserta diskusi. Lalu selesai, dan mereka siap presentasi!
Sesi presentasi, selalu menjadi saat yang menyenangkan. Selain mendengar jawaban-jawaban cerdas ala buruh pabrik dari basis pabrik, saya seneng karena berharap muncul wajah-wajah baru yang berani tampil ke depan. Benar saja, saya melihat anak-anak muda yang presentasi ke depan, berani, cerdas, dan idenya segar! Salah satunya Budi Yansah, Ketua SERBUK PT. Topkey, Gunung Raja. Dari ucapannya dalam presentasi, akhirnya saya tuliskan refleksi ini. Saya, akan ambil satu saja sebagai contoh.
Apa yang bisa membuat pohon mangga mati? Budi menjawab AIR! Semua terbelalak. Air? Bukankah air merupakan sumber kehidupan? Dengan tenang Budi melayani pertanyaan, yang sebagian dilontarkan dengan gaya lenong itu. Air, menurut Budi, memang sumber kehidupan. Kalau pohon mangga kekurangan air, akarnya akan kering. Mati. Tapi, kalau pohon mangga disiram air berlebih, terus menerus, melebihi kebutuhannya, tanpaperhitungan, bukan tidak mungkin akarnya akan busuk, lalu mati! Benar juga ya…
Jawaban Budi merefleksikan banyak hal dalam berserikat. Sebut saja keuangan. Kalau organisasi kekurangan uang, iuran macet, akan mati. Tidak ada sumber kehidupan. Tapi apakah kondisi sebaliknya aman? Merunut pada jawaban Budi, tidak! Uang yang berlebih bagi sebuah organisasi, kadang jadi masalah juga ketika tidak dikelola dengan baik. Apa saja masalahnya? Korupsi uang anggota biasanya dimulai dari keuangan organisasi yang melimpah tapi tidak dikelola dengan sistem yang baik. Akses keuangan dikuasai satu orang dan tidak ada laporan rutin. Atau, biasanya ketika uang berlimpah, “dana operasional” untuk pengurus juga berlimpah sehingga bukan tidak mungkin membuat militansi turun.
Pernah dulu, pada 2006, sebuah serikat tingkat pabrik membuat kebijakan memberikan uang bensin untuk pengurus/anggota ketika aksi. Gak banyak, sekali aksi diberikan uang sebesar 20-50 ribu rupiah. Apa dampaknya? Suatu saat, ketika organisasi organisasi kesulitan uang, tidak ada satupun anggota yang mau ikut aksi, alasannya: gak ada uang bensin!
Demikian juga, membiarkan organiser kekeringan di lapangan gak bagus. Itu sama saja amembiarkannya mati tanpa pertolongan. Tapi, memanjakan organiser dengan banyak kemudahan, percayalah, akan membuatnya merasa sebagai “pegawai” yang bekerja sekedar memenuhi target 8 jam kerja saja dan berharap gajian pada akhir bulan. Hasil kerja organiser? Bukan urusan penting. Itu refleksi dari Budi.
Malam, sambil menikmati pecel lele di seberang pool bis Damri Rajabasa, saya dan Bung Nel terjebak dalam diskusi ringan tapi berat. Kesimpulannya? MEMBANGUN DAN MERUSAK ORGANISASI ITU BISA JADI SANGAT MIRIP, BAHKAN AKTIVITASNYA SAMA PERSIS. DI ANTARA KEDUANYA HANYA DIBEDAKAN OLEH SATU HAL SAJA: ARAH!
Terima kasih kawan-kawan Lampung dan Sumsel!
Kapal Feri, Selat Sunda, 26 November 2018, 00:12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar