Sp3-TeL

Sp3-TeL
Aksi Mayday 2013 di Muara Enim

Selasa, 16 Agustus 2011

JAMINAN SOSIAL RUU BPJS Tumpang Tindih dengan Banyak UU






Senin, 15 Agustus 2011

JAKARTA (Suara Karya): Program jaminan sosial yang sudah berjalan untuk tenaga kerja formal serta pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/ Polri harus tetap dijaga sesuai peraturan dan perundang-undangan yang ada. Dalam hal ini, pemerintah lebih baik mendorong agar PT Jamsostek (Persero), PT Taspen, PT Asabri, dan PT Askes bisa terus meningkatkan manfaat untuk pesertanya dari kalangan pekerja serta PNS dan TNI/Polri.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu membentuk badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) baru untuk melayani masyarakat miskin dan tidak mampu atau pekerja/masyarakat informal. BPJS untuk masyarakat miskin dan tidak mampu ini minimal untuk tahap awal menyelenggarakan program jaminan kesehatan dengan manfaat maksimal.
Hal ini diungkapkan aktivis buruh Syahganda Nainggolan dalam suatu diskusi yang membahas masalah rancangan Undang-Undang (RUU) tentang BPJS di Jakarta, pekan lalu. Hingga saat ini, pembahasan RUU BPJS sebagai petunjuk pelaksana UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih menuai pro dan kontra, khususnya terkait wacana peleburan/penggabungan empat BUMN jaminan sosial yang ada saat ini, yakni PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri, dan PT Askes.
"Selayaknya apa yang sudah berjalan dijaga agar tetap berjalan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang ada. Kalau ada kekurangannya, kita perbaiki. Jangan diotak-atik, sehingga menimbulkan masalah baru," katanya.
Menurut Syahganda Nainggolan, pemerintah dan DPR seharusnya fokus membentuk BPJS khusus bagi penduduk miskin dan tidak mampu serta mengoptimalkan peran empat BUMN jaminan sosial yang ada saat ini dalam pembahasan RUU BPJS.
"Jika mau jujur, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jauh lebih bagus, lebih detail dibanding RUU BPJS yang ternyata hanya meributkan badan penyelenggara, bukan program jaminan sosial," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Sjukur Sarto mengatakan, sedikitnya terdapat 16 peraturan dan perundang-undangan yang harus dipertimbangkan jika DPR serta pemerintah mau melebur empat BUMN jaminan sosial yang ada saat ini.
Ini dikarenakan draf terakhir RUU BPJS terlihat berbenturan dengan 16 peraturan dan perundang-undangan tersebut, di antaranya UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Asuransi, dan UU lainnya.
Karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah dan DPR membentuk satu BPJS khusus untuk melaksanakan amanat UU SJSN, yakni program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan tidak mampu. Ini jauh lebih baik dibanding menyelesaikan permasalahan yang kompleks dan gugatan hukum sebagai dampak dari peleburan empat BUMN jaminan sosial yang ada.
Di lain pihak, Wakil Ketua Pansus RUU BPJS DPR Ferdiansyah mengatakan mengakui, pelaksanaan program jaminan sosial memang terkait banyak hal, sehingga tidak mungkin dibahas dalam waktu yang singkat dan terburu-buru.
"Menurut saya sedikitnya menyangkut 28 disiplin ilmu, sehingga perlu pemikiran yang matang dalam pembahasannya," kata Ferdiansyah.
Dia juga mengakui, banyak peraturan dan perundang-undangan yang harus dibenahi sebelum program jaminan sosial yang ideal dilaksanakan. Tentunya ini terkait agar tidak bertabrakan dengan peraturan dan perundang-undangan yang ada. (Andrian) 


Sumber  :  http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=285012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar