Ditulis Oleh: Indrasari Tjandraningsih
(Peneliti Perburuhan
AKATIGA)
Persoalan kemiskinan di Negara ini semakin
merisaukan. Masalah kemiskinan yang terus
meluas di kalangan yang memang sudah miskin:
buruh, petani, nelayan, pelaku sector informal,
semakin kasat mata. Upah dan pendapatan
kelompok marjinal ini semakin rendah dan
semakin tak mampu mengejar lonjakan kenaikan
harga-harga barang kebutuhan pokok.
Salah satu kelompok yang sedang menghadapi
pemiskinan adalah buruh di sector industri
manufaktur. Apabila ditelusuri lebih ke hulu,
kemiskinan buruh di sector industri
sesungguhnya merupakan hasil dari kebijakan
pemerintah untuk menciptakan iklim investasi
yang kondusif sebagai upaya untuk mengundang
sebanyak mungkin investor (asing). Ada dua
strategi dasar yang dilakukan pemerintah untuk
mendukung kebijakan tersebut yakni pertama
menjalankan kembali politik upah murah dan
kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal,
fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan
ketenagakerjaan. Kedua strategi tersebut secara
sistematis telah memiskinkan buruh.
Politik upah murah secara resmi dan menyolok
digunakan oleh BKPM untuk mengundang
investasi. Dalam promosinya yang bertajuk
Invest in Remarkable Indonesia, upah buruh yang
murahdijadikan daya tarik. Mengutip Economic
Intelligence Unit, brosur BKPM mencantumkan
upah buruh Indonesia yang hanya USD 0.6 per
jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina
(1.04), Thailand (1.63), Cina (2.11) dan Malaysia
(2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur
promosi itu mencantumkan ‘labor cost is
relatively low, even as compared to investment
magnets China and India’.
Upaya BKPM menarik investasi asing dengan
menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia
mengingatkan kembali pada kebijakan pemerintah
dimasa Orde Baru dengan politik upah
murahnya dan sekaligus menunjukkan
kemunduran arah kebijakan. Upaya ini juga
memperlihatkan kesenjangan pemahaman
pemerintah terhadap perubahan tuntutan
perusahaan dalam kompetisi global. Dalam
kompetisi global, investor menuntut ketepatan
waktu dan mutu kerja yang tinggi serta
pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha
tekstil dan garmen Indonesia yang telah melihat
perkembangan industri di Vietnam dan Cina
menyatakan bahwa keterampilan dan mutu hasil
kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi
dibandingkan buruh di kedua negara tersebut dan
menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya
birokrasi dan berbagai pungutan dapat
dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan
dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.
Politik upah murah telah terbukti menciptakan
sulitnya kehidupan buruh karena nilai rata-rata
upah mÃnimum sebesar Rp.892,160 hanya
mampu membiayai 62,4 persen rata-rata
pengeluaran riil buruh (AKATIGA-SPN-GarTeks-
FES-TWARO 2009).
Prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan
terdesentralisasi dalam kebijakan ketenagakerjaan
menunjukkan kepatuhan pemerintah terhadap
tekanan kapitalisme global agar Indonesia
menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim
investasi dengan cara : meliberalisasi peraturan
perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan
mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga
prinsip tersebut dalam implementasinya secara
pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan
menghilangnya kepastian kerja melalui sistem
hubungan kerja kontrak, outsourcing dan
magang. Sistem kerja ini juga membatasi masa
kerja menjadi sangat pendek melalui kontrak
selama enam bulan hingga paling lama dua tahun
dan mempersempit peluang kerja di sektor
formal bagi angkatan kerja usia produktif karena
munculnya kecenderungan baru pada preferensi
perusahaan untuk hanya mempekerjakan buruh
yang berusia 18-24 tahun untuk alasan
produktivitas. Sebuah studi di sektor metal
menemukan bahwa sistem hubungan kerja yang
fleksibel telah menurunkan upah buruh kontrak
dan outsourcing hingga 26 persen terhadap upah
buruh tetap.
Sistem yang sama telah mampu menurunkan
biaya tenaga kerja hingga 20 persen karena
dengan mempekerjakan buruh dengan sistem
kontrak perusahaan hanya perlu membayar upah
pokok dan tidak perlu memberikan kompensasi
ketika hubungan kerja berakhir. Inilah sebabnya
dalam lima tahun terakhir fenomena hubungan
kerja kontrak dan outsourcing menjadi sangat
massif dan diterapkan di hampir semua sektor
industri. Berbagai laporan dan hasil studi
menunjukkan di berbagai perusahaan di sektor
garmen dan logam serta elektronik saja misalnya
pengurangan penggunaan buruh tetap dan
menggantikannya dengan buruh kontrak terus
terjadi.
Implikasi kebijakan ini jelas memiskinkan buruh
karena dengan sistem kerja kontrak, upah buruh
tidak akan pernah mengalami kenaikan dan
berbagai tunjangan yang biasa diterima oleh
buruh tetap dengan sendirinya tidak diberikan..
Sumber : www.akatiga.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar